Wednesday, 25 May 2016

RESENSI FILM FACING THE GIANTS






FACING THE GIANTS

 

 

JUDUL               : Facing The Giants


GENRE              : Family, Drama


SUTRADARA   : Alex Kendrick


PRODUSER      : Alex Kendrick, Stephen Kendrick, David Nixon


PENULIS          : Alex Kendrick, Stephen Kendrick

RILIS                : 29 SEPT 2006


DURASI           : 111 menit

NEGARA         : Amerika Serikat

SINOPSIS        :

          Film ini memang sengaja dibuat untuk menekankan satu hal, “gak ada yang mustahil bagi Allah”. Dengan konflik yang kompleks, Facing the giants memperlihatkan perjuangan iman orang kristen kebanyakan untuk mengalahkan raksasa-raksasa dalam hidup mereka. Cerita dimulai dengan kehidupan Grant Taylor (Alex Kendrick) , seorang pelatih futball sebuah highschool bernama Shiloh Christian Academy (SCA) yang melewati 6 musim pertandingan tanpa kemenangan yang berarti. Di musim pertandingan yang ketujuh, keadaan tim futball SCA bukannya membaik melainkan tambah parah. Kesialan sepertinya tetap mengikuti Grant.

          Pemain terbaik Grant pindah sekolah karena kecewa dengan prestasi tim, anggota tim Grant bermasalah dengan pelajaran sehingga sering tidak mengikuti latihan karena dihukum, mobil Grant sering mogok namun dia tidak punya cukup uang untuk membeli yang baru, dokter memfonis kalau Grant menderita kelainan sehingga istri Grant tidak bisa hamil padahal mereka telah 4 tahun menikah. Dan yang lebih parah lagi Grant terancam dipecat karena orang tua murid mulai tidak percaya padanya dan berusaha membujuk asisisten pelatih untuk menggantikan posisi Grant. Grant berada di titik terendah, titik dimana dia tidak bisa berbuat apa-apa, titik dimana Grant mengakui “aku mengasihi Engkau, ya Tuhan kekuatanku! Ya Tuhan, bukit batuku, kubu pertahananku dan penyelamatku, Allahku, gunung batuku, tempat aku berlindung, perisaiku, tanduk keselamatanku, kota bentengku! Terpujilah Tuhan, seruku; maka aku pun selamat dari pada musuhku” (Mazmur 18:2-4). Grant mengakui keterbatasannya, mengakui bahwa dalam dirinya ada raksasa-raksasa berupa ketakutan yang siap melindasnya, dan bahwa dia membutuhkan Yesus. Saat itulah Grant mengakui bahwa Yesuslah Tuhan dan Grant berserah total kepada Tuhan. When he can do nothing, he’s totally surrender. Kadang memang Bapa harus mengijinkan begitu banyak hal sulit terjadi agar kita mengijinkan Dia mengambil alih total hidup kita seperti dalam kasusnya Grant.

            Ada banyak nilai-nilai kristen yang coba dimunculkan Alex Kendrick dalam film ini sehingga dia harus turun tangan menjadi pemeran utamanya, sebagian diantaranya:
Doa mengubahkan banyak hal:
Mr. Bridges, seorang kakek tua yang diceritakan selalu datang ke sekolah tempat Grant bekerja hanya untuk melewati lorong sekolah sambil menyentuh loker-loker dan berdoa untuk anak-anak pemilik loker tersebut. Bertahun-tahun Mr. Bridges tetap setia melewati loker dan berdoa tanpa melihat hasil doanya. Tetapi tidak ada doa yang tidak dijawab. Setelah menunggu bertahun-tahun, terjadilah pemulihan besar-besaran di SCA. Ketika kelas injil di buat di luar kelas, Matt (James Blackwell), anak asuhan Grant yang belum percaya akhirnya menerima Kristus dan mulai mengakui dosa-dosanya dan meminta maaf dari teman-temannya, hal ini diikuti oleh anak-anak yang lain sehingga lapangan futball penuh dengan anak-anak yang saling mengaku dosa dan saling mendoakan. Kesetiaan seorang kakek tua berdoa berbuah manis. Pemulihan terjadi. Yakobus 5:16b berkata ”Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya”. Inilah yang terjadi dengan doa-doa Mr. Bridges (Ray Wood). Iman dengan tindakan nyata mengerakkan sebuah doa.

            Saat Grant berusaha bangkit dari keterpurukan dan masih bertanya-tanya tentang rencana Tuhan dengan tim futballnya, Mr. Bridges datang membawakan pesan Tuhan dalam Wahyu 3: 8 “Lihatlah, aku telah membukakan pintu bagimu, yang tidak dapat ditutup oleh seorangpun. Aku tahu bahwa kekuatanmu tidak seberapa, namun engkau menuruti firman-Ku dan engkau tidak menyangkal nama-Ku”. Ada pintu yang dibukakan Tuhan bagi Grant, namun sama seperti kita manusia pada umumnya, Grant masih ragu. Dia telah berdoa namun dia masih ragu karena dia tidak melihat pintu tersebut. Mr. Bridges memberikan perumpamaan indah untuk Grant: “ada dua petani yang sangat membutuhkan hujan, mereka berdua berdoa meminta hujan namun hanya satu petani yang turun keladang bersiap untuk datangnya ladang”.

          Jika kita berdoa meminta hujan, maka kita harus mempersiapkan diri akan datangnya hujan. Harus ada tindakan nyata yang menunjukkan bahwa kita memang mengimani kalau Tuhan akan menjawab doa kita. Grant membuktikan hal ini di saat pertandingan final. Dia dengan iman mempersiapkan diri untuk hujan ketika dia mempercayakan David Childers (Bailey Cave) , penendang yang tidak berpengalaman untuk menentukan nasib timnya. Hidup bukan tentang kita tapi tentang Tuhan. Grant memulai tim futballnya dengan hal yang baru ketika dia mulai melihat Yesus. Dia membuat filosofi baru bagi anggota timnya. Ketika Grant bertanya apa tujuan bermain futball kepada anak didiknya, seorang dari mereka berkata bahwa tujuan bermain futbal itu untuk menang, lalu mendapat piala, mendapat beasiswa, berhasil jadi pemain pro, dan akhirnya melatih tim futball sendiri. Grant lalu membuat pernyataan iman yang luar biasa dari jawaban ini. “Memenangkan pertandingan futball adalah suatu tujuan hidup yang terlalu sepele karena setelah itu pemenang futball akan segera dilupakan.

           Hidup bukan tentang bagaimana kita bisa terlihat hebat dan mendapatkan kejayaan, mengumpulkan uang dan mati, hidup bukan tentang kita tapi tentang Tuhan. Kita hidup untuk mempermuliakan Tuhan dan menang dalam futball hanya salah satu cara untuk memuliakannya. Kita harus menghormati Tuhan dalam setiap kehidupan kita termasuk dalam futball”. Intinya Kendrick mengingatkan alasan kenapa kita hidup: untuk memuliakan Tuhan. Motivasi Grant kepada anak didiknya ditutup dengan kata “Jika menang kita memuji Tuhan, kalahpun tetap memuji Tuhan”. Itulah yang kemudian menjadi kata-kata inti dalam doa sebelum bertanding tim futball SCA.
Dalam kelemahan kita kekuatan Tuhan nyata. David penendang bola tim SCA yang awalnya masuk tim futball hanya karena di SCA tidak ada tim sepakbola. Awalnya David ragu masuk dalam tim futball Grant karena dia tidak percaya dengan kemampuan dirinya dan juga karena di SCA sudah ada penendang yang bagus yaitu Joshua. Namun ayah David yang lumpuh terus menguatkan David. Sekali dalam percakapan dengan ayahnya David yang masih rendah diri bertanya kepada ayahnya kalau memang Tuhan ingin melakukan perbuatan hebat melalui dirinya, mengapa dirinya diciptakan begitu kecil dan lemah. Ayahnya menjawab dengan bijak “untuk menunjukkan betapa besar kuasa-NYA”. David terus berjuang melawan rasa “ketidakmampuan” yang menjadi raksasa dalam dirinya. Beberapa kali dia berhasil, beberapa kali dia juga gagal. Di akhir cerita David dipercayakan untuk menendang bola dalam jarak yang mustahil, David berjuang dengan raksasa dalam dirinya namun akhirnya dia mampu mengalahkan rasa takutnya itu dengan suatu perkataan “God, please help me make this kick” dan dia berhasil menendang bola dalam jarak 51 yard.

           Bagaimanapun sifat ayah kita, kita tetap harus menghormatinya
Matt sangat tidak akur dengan ayahnya yang menurutnya terlalu pengatur, namun Grant menasihatinya “kau tidak bertanggung jawah pada ayahmu tapi kau bertanggung jawab pada dirimu. Kau menghormati Tuhan dengan menghormati ayahmu”. Awalnya memang Matt tidak bisa menerimanya, namun ketika Matt menerima Yesus, dia meminta maaf kepada ayahnya di kantor sampai-sampai teman kantor ayahnya berkata dia rela memberikan tangan kanannya asalkan anaknya melakukan seperti yang Matt lakukan. Hubungan ayah-anak akhirnya dipulihkan, ayah Matt bahkan memberi Grant mobil mewah menggantikan mobil bututnya Grant karena perubahan dalam diri Matt. Pemulihan ini mungkin tidak akan terjadi jika Matt tidak bersikap rendah hati untuk meminta maaf.
Dalam keadaan sulitpun kita harus tetap mencintai Tuhan
Brooke Taylor (Shannen Fields) , isteri Grant sangat ingin memiliki anak. Dalam setahun dia sudah empat kali bolak-balik ke klinik untuk mengecek apakah dia hamil. Di kali yang keempat dia tetap harus mendapat jawaban yang sama, negatif. Saat itulah Brooke yang hancur hati dan dengan air mata mengatakan “aku tetap akan mencintai-Mu Tuhan”. Suatu pengakuan yang sangat sulit karena harus Brooke buat ketika Tuhan belum menjawab doanya namun berakhir indah karena ternyata hasil Brooke tertukar, Brooke ternyata hamil.

           Tidak ada yang mustahil dalam Tuhan. Setelah perjuangan dengan filosofi yang baru, tim Grant akhirnya masuk dalam final Kejuaraan Daerah. Tapi kali ini mereka harus menghadapi raksana baru, tim Richland Giants yang telah tiga kali berturut-turut menjadi juara. Kekuatan tim SCA yang hanya beranggotakan 32 orang sangat tidak sebanding dengan Giants yang beranggotakan 85 orang. Walaupun tim SCA berbakat namun kekuatan mereka terkuras habis dengan tim Giants yang lebih banyak dan lebih kuat dari mereka. Brock sang kapten dipaksa harus tetap bermain padahal dia sangat kelelahan karena tidak ada pengganti. Namun karena tim SCA bertanding dengan motivasi yang benar, kemenangan yang terlihat tidak mungkin menjadi mungkin. Mereka mengalahkan tim Giants yang melambangkan ketakutan dalam diri mereka. David sebagai penentu kemenangan sepertinya mewakili cerita Daud dan Goliat dalam alkitab. Satu kalimat Grant ketika mendapatkan kemenangan “What’s imposibble with God on your sight?”, hal yang kemudian dikatakan isterinya ketika memberitahukan kehamilannya ke Grant “would you tell me Grant Taylor, what’s impossible with God on your sight?”. Pertanyaan yang sama ditanyakan pada kita hari ini “what’s impossible with God on your sight?”



LINK DOWNLOAD :

Mp4 720p Size 1.14 GB
Openload
 
Subtitle Indonesia
Subscene 

Sumber  : https://ingp.wordpress.com/2009/03/08/resensi-film-facing-the-giants/ 


No comments:

Post a Comment

Tugas Konservasi Arsitektur

BGR kelompok 4 ...